š—›š˜‚š—øš˜‚š—ŗš—®š—» š—–š—®š—ŗš—Æš˜‚š—ø š—±š—¶ š—”š—°š—²š—µ: š——š—¶š˜š—²š—»š˜š—®š—»š—“ Tš—®š—½š—¶ š—±š—¶š—¶š—»š—“š—¶š—»š—øš—®š—»


Foto: Terpidana sedang dicambuk

Menjelang di sahkannya Qonun No 6 Tahun 2014, mata dunia tertuju ke Aceh. Sebuah provinsi di Indonesia yang diberi wewenang khusus menjalankan syariat islam.

Berbagai pihak yang pro mensyukuri lahirnya qonun tentang hukum Jinayat ini tapi tidak bagi yang kontra, mereka menganggap qonun Jinayat ini diskriminatif dan tidak mengindahkan hak asasi manusia. Salah satu alasannya karena adanya hukuman cambuk yang mereka nilai sudah tidak relevan karena di dalamnya terdapat penyiksaan dan cenderung tidak manusiawi.
Namun dibalik kontroversi itu, nyatanya qonun itu di sahkan juga dan sudah berjalan lebih kurang 8 tahun. Hal ini berarti masyarakat aceh setuju dengan adanya qonun Jinayat tersebut.
Sebetulnya dalam qonun tersebut, hukumannya (uqubat) tidak hanya cambuk, namun ada juga penjara, bahka membayar emas. Jadi sejatinya tidak harus dengan hukuman cambuk saja.
Misalkan saja, terhadap jarimah judi, hakim bisa menjatuhkan padanya hukuman cambuk, penjara atau membayar emas, begitu juga dengan jarimah yg lain seperti perkosaan, pelecehan seksual, ikhtilath dll. Tentu saja hakim memiliki kewenangan untuk memilih uqubat apa yg relevan di jatuhkan bagi terdakwa.
Walaupun hukuman cambuk menjadi kontroversi, namun ketika saya menangani perkara Jinayat, banyak terdakwa dalam pledoinya lebih menginginkan dihukum cambuk dari pada di penjara. Mungkin karena apabila sudh slsi cambuk, maka bebaslah terdakwa. Berbeda dg hukuman penjara yang mana ia harus mendekam di hotel prodeo selama bertahun-tahun.
Jadi gimana, mau cambuk atau penjara?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asyiknya Perjalanan Jambi - Serang Lewat Darat